Pada tahun 1960-an ada semangat yang menggelora dari kaum laki-laki untuk mengakses pendidikan. Sinopsisnya bisa dilihat dari banyaknya instansi-instansi pendidikan pada masa itu yang lebih banyak didominasi kaum laki-laki.
Teknis Hoge School sebagai salah satu pabrik SDM terdepan di Indonesia didominasi oleh laki-laki. Begitu juga dengan Taman Siswa ala Kihajar Dewantara juga diisi oleh banyak kaum laki-laki. Hampir semua instansi pendidikan di zaman pra kemerdekaan dan era pergerakan nasional menjadi lumbung utama para laki-laki.
Laki-laki pada zaman itu ada kesadaran etis untuk mengenyam pendidikan. Kebanyakan generasi laki-laki era pra kemerdekaan menyadari bahwa substansi melek pendidikan menjadi bagian fundamental kaum laki-laki yang harus dimiliki.
Ada semacam konsensus tak tertulis bahwa semakin berpendidikan laki-laki maka semakin mulia pula derajatnya. Memasuki era reformasi dan kesetaraan gender terjadi dekonstruksi besar-besaran atas tafsir sublimatif pendidikan di pandangan kaum laki-laki.
Sekarang kaum laki-laki justru melakukan dekonstruksi ide atas sublimatifnya sebuah pendidikan. Laki-laki menganggap bahwa mengenyam pendidikan melalui jalur formal tidak penting lagi.
Dekonsturksi ide yang besar-besaran di kalangan civil society ini membalikan akses gender terhadap pendidikan selama ini. Di kampus-kampus, sekolah-sekolah, hingga tingkat pendidikan yang lebih kecil lagi yaitu SMP dominasi laki-laki atas perempuan di instansi pendidikan telah jauh berbalik. Sekarang wanita lebih mendominasi di instansi pendidikan. Di kampus dan instansi pendidikan lainnya kebanyakan diisi pos perempuan. Sementara laki-laki masuk pada jurang irasionalitas dengan memilih putus sekolah.
Ketimpangan Akses Pendidikan Membuat Laki-Laki Hilang Dalam Kepemimpian Keluarga
Sayangnya, irasionalitas laki-laki yang memilih putus sekolah tidak segera disadari. Mereka kaum laki-laki tidak mau mengambil pusing hal itu.
Padahal dengan memilih jalan putus pendidikan, maka artinya akan memutuskan pula otoritas kepemimpinan laki-laki dalam keluarga atas perempuan. Ketika kemampuan intelekutal perempuan atas laki-laki tidak setara dan cenderung lebih tinggi dari laki-laki maka akan terjadi diskresi kepemimpinan keluarga dalam konteks Indonesia kultur kekeluargaan Indonesia.
Wanita secara autopilot akan mengambil kepemimpinan keluarga. Laki-laki berada pada ranah domestik. Menjadi pengekor atas kekalahan intelektual yang diperbuat sendiri.
Keretakan dalam marital consensus sering terjadi karena hilangnya otoritas kepemimpinan suami. Kehilangan otoritas suami ini bisa diakibatkan oleh beberapa hal. Bisa penyebab ekonomi, kegagalan menjalankan komunikasi yang hangat, hingga kegagalan intelektualitas.
Toxic Maskulinitas Laki-Laki
Setelah lulus dari tingkat satuan pendidikan dasar (SMP) kaum laki-laki-laki akan segera teracuni oleh toxic maskuliniti. Kaum laki-laki akan segera dibisiki untuk produktif kerja menghasilkan uang. Stigma yang terbentuk yaitu laki-laki harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk membackup keuangan keluarga.
Stigamatisasi yang semacam ini kemudian membuat kaum laki-laki berimajinasi melanjutkan sekolah tidak penting. Dalam imajinasi kaum laki-laki sekolah hanya buang-buang uang saja. Sekolah tidak menghasilkan uang dibandingkan dengan bekerja. Distorsi pemikiran yang semacam ini membuat kaum laki-laki berhenti sekolah. Akibatnya kampus-kampus dan sekolah yang ada di Indonesia saat ini banyak diisi oleh kaum perempuan.
Sementara kaum perempuan menemukan momentumnya. Atas tafsir bahwa perempuan menjadi parenting dalam fungsi keluarga, perempuan memilih melanjutkan sekolah agar mampu membimbing anaknya dengan kedalaman literasi. Tafsir substantif pendidikan yang semacam ini tidak ada pada laki-laki. Isi otak laki-laki hanya berisi sinopsis kerja-kerja-kerja dan kerja untuk menopang ekonomi tanpa memikirkan fungsi edukasi yang dulu sering muncul pada generasi laki-laki awal kemerdekaan dan pra kemerdekaan.